Raga

Aku terduduk di bangku besi yang cat hijaunya telah banyak mengelupas. Satu meter di depanku, kolam ikan berbentuk bundar tampak seperti meja besar penjamu tamu. Gundukkan tanaman Keji Beling berjejer di kiri dan kanan, bak dinding-dinding rendah yang sengaja memblokade pandanganku yang menerawang.

Langit adalah atapnya, sedangkan rumput-rumput jepang seolah menggantikan peran permadani– melindungi telapak kakiku dari tanah merah yang becek. Satu hal yang paling memikat; sorot matahari yang kian melemah di sudut barat, telah mampu menciptakan suasana temaram ala Candle light dinner di senja ini. Indah sekali.

Melodi alam sungguh membuat kesadaranku timbul tenggelam. Riuh decak pipit yang saling menyapa, gemuruh tepuk tangan dedaunan, dipadu gemericik air mancur yang berjatuhan di kolam, semua berpadu menghasilkan pertunjukkan seni yang megah di taman ini, Taman Gajah.

NYAMAN. Lagi-lagi hanya kata itu yang mampu mewakili perasaanku saat berada di sini, di taman ini. Semua gundah, amarah, dan kesah, menguap seketika dari sela-sela tubuhku. Yang tertinggal hanya satu rasa, nyaman.

Mungkin aku memang jahat, mengunjungi taman ini hanya di kala terluka. Tetapi sungguh, bercengkrama dengan alam adalah obat paling mujarab bagi duka laraku. Bersentuhan dengan alam adalah terapi tercanggih bagi segala permasalahan jiwaku. Seperti sore ini, ketika kejadian siang tadi begitu berat membebani pundakku, aku memutuskan untuk menumpahkan keluh kesah itu di sini, di taman ini.

Secarik kertas kusut kini masih teremas di tanganku. Kertas inilah yang bertanggung jawab atas kacaunya perasaanku hari ini. “Karena saya telah memberimu selembar kertas, maka kamu berhutang selembar kertas balasan untuk saya.” Sesosok laki-laki memberiku selipat kertas siang tadi. “Saya beri waktu sampai besok.” ia bergegas pergi tanpa mengucap pamit.

Aku tak suka. Tak suka ditekan. Tak suka dipaksa. Dan yang paling tak kusukai adalah, situasi ini. Aku tak suka terperangkap dalam dilema perasaan seperti ini.

———————————————————————————————————————-

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)

Lexa, saya hanya ingin tahu, sayakah orang yang akan menikmati hari tua bersama kamu kelak? Sayakah orang yang akan kamu buatkan secangkir susu hangat di pagi hari? Sayakah orang yang kamu percaya untuk menjadi imam di setiap langkah kakimu? Sayakah orangnya?

Wassalam.

FATHAN

————————————————————————————————————–

Selembar kertas itu kini telah menjadi sobekan kecil tak beraturan. Tak butuh waktu lama untuk menghancurkan surat itu, begitupun untuk menghancurkan jiwaku. Semuanya jelas akan segera menemui kebinasaan.

***

“Fathan itu nyata. Dia teraba. Dia terdengar. Dia terlihat. Dia ada di hadapanmu! Dia dengan terang mencintaimu dan ingin menikahimu.” Aku berbicara pada diriku sendiri di hadapan cermin kamar mandi, sambil mengguyuri muka sepulang dari taman. “Bangun, Lexa! Kamu tak bisa terlalu lama bermimpi!” setengah diriku berkata kepada setengah lainnya. Entahlah, kenapa jiwaku begitu berantakan. Sulit sekali hal ini untuk kumengerti.

“Tolong, jangan membenciku. Jangan memojokkanku. Biarkan hatiku yang memilih.” tolakku, berharap tak ada perdebatan berkecamuk di kedua sisi hatiku yang bertentangan. “Tapi hati tak harus memilih, Lexa.” Lagi-lagi aku menimpali diriku sendiri. “Ia pasti tahu ke arah mana harus menuju. Dan kamu tahu betul bahwa saat ini kamu tak ubahnya seorang pengkhayal, menunggu laki-laki yang belum tentu mencintaimu, bahkan mungkin mengingatmu pun tidak.” aku menelan ludah, pahit sekali rasanya. “Ingat, Lexa. Fathan itu nyata, dan ia hanya berjarak lima senti saja darimu. Sementara laki-laki itu? Ia begitu jauh.”

Aku menunduk. Rasa pedih mengaliri darahku. Di satu sisi aku tak ingin dituduh bermimpi, tapi di sisi lain aku menyadari bahwa aku memang sedang bermimpi. Tiga tahun menanti tanpa secuil pun berbuah pasti; tentang perasaanku, tentang perasaannya.

Adalah Ikal, laki-laki di koridor gedung kampus yang hampir tiga kali musim gugur ini kutunggu. Tiga musim gugur yang berarti tiga tahun. “Ah, waktu yang sangat lama untuk menunggu.” aku terperanjat, tak percaya sebegitu lamanya aku menunggu.

Ikal memang ajaib. Beberapa bulan saja ia datang menggandrungi hidup normalku, lalu hilang, meninggalkan bercak-bercak rasa yang tak habis di makan waktu. Hingga satu tahun, dua tahun, tiga tahun, ah, mungkin hingga selamanya. Aku tak pernah tahu.

Ikal adalah Ikal. Tak terlalu istimewa. Hanya mahasiswa berjaket hitam yang sering kutemui di koridor gedung kampus. Wajahnya bersih. Matanya teduh. Hidupnya sederhana. Tak banyak yang kuketahui tentangnya. Yang kutahu hanyalah ia kakak kelasku, dan kami sering terlibat dalam banyak kepanitiaan di kampus.

Tak pernah ada hal istimewa di antara kami. Bahkan mengobrol berduaan pun, saling berkirim pesan singkat pun, saling menelepon pun kami tak pernah. Hanya saling mencuri pandang saja yang bisa kami lakukan. Jika ia lewat di depanku, mataku tak dapat berhenti memandanginya. Begitu pun ia. Sepasang matanya selalu mengintaiku tatkala aku lewat di depannya. Jika kemudian tatapan kami beradu, dengan kompak kamipun membuang muka.

Pernah satu kali saja Ikal menghampiriku. Kala itu, aku tengah berdiri mematung di koridor gedung. Tatapanku menerawang ke depan, menyimak wajah-wajah rusuh mahasiswa yang berlarian  dikejar gerimis sore. “Saya tidak menghendaki pacaran.” Ikal memulai perbincangan sore itu. Ia berdiri, membentuk satu shaf denganku. Tatapannya menuju wajah-wajah mahasiswa dan gerimis sore, sama sepertiku. “Tapi saya pun tak hendak menikah di usia semuda ini” Ia menunduk.

Jarak kami dua meter. Sekitar kami adalah hingar bingar penghuni kampus. Dunia kami adalah desah sesak napas milyaran manusia penghuni bumi. Tapi entah mengapa aku merasa Ikal begitu dekat. Dan dunia seketika menjadi terlelap.

Kalimat Ikal memang mengandung banyak makna, tapi kami sama-sama tahu kemana arah pembicaraan ini menuju. “Saya juga. Saya berkomitmen pada diri sendiri untuk tidak pacaran.” aku menimpali ucapannya, berharap detikan es di antara kami tak lagi membekukan senja. Ikal menunduk semakin dalam. Dahinya mengerut. Urat-uratnya bermunculan. Pertanda ia tengah berpikir keras dan dalam. “entah cara ini benar atau salah” ia menghela napas. “Saya mau kamu menunggu” tatapannya menerawang jauh ke depan. Kegugupan tampak menyelimuti matanya.

Giliranku menunduk. Ucapannya bak petir yang melengkapi suasana hujan kampus. Entah senang, resah, atau gundah, tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Walau gemericik hujan semakin terdengar riuh, walau suara bising orang berlarian semakin tajam menyentuh gendang telinga, tetap saja aku tak bisa mendengar. Hanya kata-kata Ikallah yang memantul-mantul di tulang telingaku.”Kak, saya pulang duluan.” ujarku, tak tahu harus berkata apa lagi. Aku berbalik lantas meninggalkannya seorang diri. Tak ada hal lain yang ingin kulakukan saat itu selain pulang. Aku merasa begitu kacau.

Siapa yang menyangka kalau perkataan bodohku itu kemudian membuatku menderita hingga saat ini, mungkin sampai ku tua nanti. Ya, aku membuat kisah kami menggantung. Luntang lantung tanpa ujung. Ikal kutinggalkan tanpa jawaban.

Ikal kemudian menghilang, baik raga maupun jiwanya. Tak ada lagi laki-laki berjaket hitam itu di koridor gedung. Ia seolah berada di dunia yang berbeda denganku. Tak ada lagi Ikal, bahkan hingga tiga tahun setelah itu.

***

Aku dan taman ini.

Walau segelintir manusia berlalu lalang di sekelilingku, sejatinya hanya jiwaku sajalah yang menyatu dengan sehektar lahan ayu ini. Aku bercanda dengan riakan air kolam, lalu bermain-main dengan sejumput rumput, dan tak lupa bertegur sapa dengan sekelebat angin senja. Sesekali kupu-kupu dan burung pipit ikut bergabung dalam permainan renyahku di taman ini.

Seperti sehari yang lalu, aku kembali menduduki bangku yang sama sambil dijamu sebulat kolam berair mancur. Perasaanku masih sama, kacau! Untuk itulah aku kembali kesini, mencari secuil kenyamanan yang memang selalu berhasil kudapatkan disini. Kubuka kembali selembar kertas yang akan kuberikan pada Fathan.

——————————————————————————————————————————

Maaf kalau satu bulan kemarin saya sempat mendiamkan proses perkenalan kita, sampai akhirnya kakak harus menanyakannya sendiri pada saya. Maaf, karena saya telah membuat Kakak pusing. Tolong sampaikan maaf saya untuk Kak Ridho yang telah membantu proses perkenalan ini.

Semua orang pasti sependapat dengan saya. Tak ada alasan untuk menolak seorang laki-laki sehebat kakak. Kakak punya kepribadian yang luar biasa. Kakak juga punya pemahaman agama yang tinggi. Kakak memenuhi 4 kriteria yang disebutkan Rasulullah; Agama, Keturunan, Wajah, dan Harta yang baik.

Setelah melalui proses pertimbangan yang panjang, setelah beristikharah dan bermunajat sekian lama, hati saya akhirnya memutuskan. IYA, insya Allah saya menerima kakak sebagai pendamping hidup saya. Semoga kita bisa membangun keluarga yang hebat, yang bisa membawa dunia ke peradaban yang lebih baik. Aamiin.

-Lexa-

———————————————————————————————————————————-

Aku melipat kembali kertas untuk Fathan.

Leave a comment