[a must] Di Cabang Jalan

Kulihat jalan ini terbelah. Mengharuskanku menyalin langkah. Ah, mau tak mau harus kutukar dunia dongeng itu dengan kenyataan –Di Cabang Jalan

Kantung-kantung hujan…

Menetes, membias warna kehidupan. Langit menangis. Dingin. Dan seolah latah, kantung-kantung hujan di sudut jendela mataku jua tumpah.

Sedari dulu, aku enggan mengetuk daun pintu kenyataan. Entah takut atau naluriku memang tak menghendaki. Rasanya, aku tertagih melakoni peran penuh kenyamanan. Berdiri di atas awan. Duduk di singgasana khayalan yang melalaikan.

Tetapi tidak. Tidak sampai aku menjamah hari ini. Seolah kehabisan efek sedasi, aku terperanjat dari dunia pura-pura. Kulihat jalan ini terbelah. Mengharuskanku menyalin langkah. Ah… mau tak mau harus kutukar dunia dongeng itu dengan kenyataan.

Ya, aku bukan lagi gadis kecil. Otot-ototku telah menumbuh sempurna. Juga otak dan hatiku. Aku harus bebal menatap dunia yang tak maya. Lalu berdiri ditopang kedua kaki yang mulai kokoh. Bukan lagi bergelayutan di atas pengorbanan dan cucuran asin keringat orang lain, terlebih orang tuaku.

Kemana saja aku? Kerutan di wajah ayah sudah terlalu tegas menunjukkan bahwa beliau kian tua. Kemana saja aku? Helaian putih ternyata telah banyak berlilitan di rambut Ibu yang dulu legam. Kemana saja aku? Kemana saja aku?

Tulang-tulang mereka kian keropos sementara tulang-tulangku menguat. Kulit-kulit mereka kian kasar sementara kulitku berkembang sempurna. Harusnya, aku tak lagi duduk angkuh di punggung keduanya. Harusnya aku berhenti bersembunyi di balik raganya yang tak lagi kuat.

Di cabang jalan…

Hujan turun rapat-rapat. Menyamarkan air mata yang kian berat. Nanar tatapanku. Dilema batin menyeruak. “Aku harus melangkah dengan kakiku sendiri, meski pincang.”

Road To “2012-Mandiri”

Semangat Uciiiii!

[a talk] Sudah Lama Aku Tidak Merindukanmu

Sudah lama aku tak merindukanmu…

Padahal sedetik yang lalu aku mengingatmu. Tapi detik ini, aku hanya mengingati diriku sendiri. Lalu buntu. Tak ada rangkaian kata untukmu. Ah, tapi mungkin kau tak butuh. Ya, siapa yang butuh? Aku yang membutuhkanmu. Aku tak akan pernah tahu gelap tanpamu. Aku tak akan pernah tahu cahaya tampamu. Jadi siapa yang butuh? Aku yang butuh! Tapi, kenapa kau yang mencintaiku? Dan kenapa kau yang menangis untukku? pertanyaan untukku sendiri. Sungguh diri yang tak tahu diri. Bagaimana bisa, detik ini, aku tak menangis membayangkan tangisanmu saat sakratul maut dan terus berbisik, “Ummati…Ummmati…Ummati…”?

Sudah lama aku tak merindukanmu…

Sehari kemarin sempat ada satu detak jantungku untukmu. Tapi hanya satu. Itupun saat kuingat engkau yang mengenalkanku padaNya. Dan itupun saat kuingat Dia yang menguasai hidupku. Itupun saat kuingat kematianku. Ah, hari ini tapi siapa yang ingat mati lebih dari satu menit? Hidup masih terlalu menggiurkan untuk kutinggalkan dengan berpikir mati dan kehilangan segalanya.  Itupun…Astagfirullah, dimana penghormatanku untukmu?

Sudah lama aku tidak merindukanmu… Continue reading

[a must] Gerakan Satu Juta Status Penyemangat di Facebook

Gambar di atas adalah percakapan saya dengan Cici (bukan nama sebenarnya) di facebook. Cici adalah gadis manis penghuni jalanan simpang Dago, Bandung. Usianya sekitar 13 tahunan. Saya kenal dia sejak bulan April atau Juni. Sekarang Cici alhamdulillah udah gak ngamen lagi. Dia kerja di Jawa. Ah, kadang saya kangen juga sama dia. *mewek deh. huksss*.

Sejak saya mengalami kesulitan bertemu rutin dengan adik-adik Simpang Dago (sibuk.red), saya lalu mencoba meng-intenskan komunikasi lewat dunia maya. Kebetulan adik-adik simpang dago ini sering banget online di Facebook. Maka dari itulah saya mencoba memaksimalkan komunikasi saya dengan mereka lewat facebook.

Jika ada waktu luang, saya sering nyempetin buka profil mereka. Ya sekedar untuk memantau dan mengetahui kabar terbaru tentang mereka. “Kalau ada masalah, mungkin saya bisa sedikit membantu,” begitu lirih saya dalam hati.

Semakin sering saya mengamati, semakin mengertilah bahwa masalah yang mereka hadapi begitu banyak. Mulai dari masalah dengan sesama anjal, masalah pacar, duit, dan banyaaaak lagi. Haduh, saya malah ikut pusing, mengingat setiap kali ada masalah, mereka slalu curhat sama saya di inbox FB.

Misalnya saja Cici. Suatu pagi, status Cici di facebook tuh gak enak banget buat dibaca. Kayaknya pagi itu dia lagi sedih. Yah, masalah sama pacarnya (miris memang, saya aja yang udah tua kagak punya pacar sampe sekarang.ckckck). Waktu itu saya pengen banget ngomentarin statusnya itu, tapi saya urungkan. Continue reading

[a live] Kau Belum Mati di Hatiku

Musim hujan 15 tahun lalu.

Tak banyak kutahu tentangmu. Hanya potongan kisah pecah belah. Itupun buah dari menguping obrolan orang dewasa di sudut surau. Kurasa orang dewasa banyak yang mengagumimu. Bahwa kau adalah putri dari seorang yang hebat. Bahwa kau sendiri hebat. Ibumu, kakekmu, bahkan suamimu, adalah orang hebat. Lalu aku tertarik untuk memperhatikanmu.

Musim hujan 10 tahun lalu.

Aku mulai mengerti tentang kemuliaanmu. Bahkan dengan akal dangkal, sudah dapat kupahami bahwa kau lebih DARI pantas untuk dicintai. Kau, satu dari berjuta wanita yang sepatutnya kujadikan cermin. Ya, sejak itu aku mulai mencintaimu.

Musim hujan lima tahun lalu.

Kau mulai menghiasi tingkah lakuku. Aku benar-benar ingin menjadi sepertimu. Kau teladan terbaik bagi seluruh wanita di muka bumi. Darimu, aku belajar tentang berhijab dengan syariat. Darimu, aku belajar menjaga harga diri dan hati. Kau, mampu melakoni banyak peran dengan sempurna. Kau, Fatimah Az-Zahra, putri manusia pembawa cahaya, Muhammad saw.

Musim hujan tahun ini.

Aku hampir lupa tentangmu. Tak lagi kau kujadikan cermin. Tak lagi kau menghiasi tingkah lakuku. Aku kini disibukkan dengan obrolan-obrolan picisan. Aku lalai menjaga hati. Akhh, sosokku kini terlalu busuk untuk diungkapkan dalam kata.

Fatimah Az-zahra ra. Lima, sepuluh, bahkan lima belas tahun lalu, aroma kemuliaanmu masih lekat di udaraku. Tapi kini debu-debu fatamorgana telah menghapus sebagian aromamu disini. Aku kalang kabut. Kau semakin usang di pernapasanku. Aku.. entahlah seburuk apa aku kali ini.

Hujan hari ini.

Hujan hari ini terasa begitu keras membentur ubun-ubun. Ah, jika bisa kutemukan kau di antara hujan, maka akan kuminta Allah menurunkannya lebih lama. Agar bisa ku perhatikan kembali detail tingkahmu. Agar hidup kembali cintaku padamu.

Kau belum mati di hatiku, Wahai Fatimah! Aku hanya terlalu dalam menimbunmu. Entah detik ini, menit ini, jam ini, hari ini, entah kapan.. aku berjanji (InsyaAllah),  kau akan kembali mengharumi segala sudut kehidupanku.

Kau terjamin masuk surga.

Berarti kau tahu jalan menuju sana, bukan?

Untuk itulah aku menuruti jalanmu.

Kuharap aku menjadi bagianmu kelak.

aamiin.