Kantung-kantung hujan…
Menetes, membias warna kehidupan. Langit menangis. Dingin. Dan seolah latah, kantung-kantung hujan di sudut jendela mataku jua tumpah.
Sedari dulu, aku enggan mengetuk daun pintu kenyataan. Entah takut atau naluriku memang tak menghendaki. Rasanya, aku tertagih melakoni peran penuh kenyamanan. Berdiri di atas awan. Duduk di singgasana khayalan yang melalaikan.
Tetapi tidak. Tidak sampai aku menjamah hari ini. Seolah kehabisan efek sedasi, aku terperanjat dari dunia pura-pura. Kulihat jalan ini terbelah. Mengharuskanku menyalin langkah. Ah… mau tak mau harus kutukar dunia dongeng itu dengan kenyataan.
Ya, aku bukan lagi gadis kecil. Otot-ototku telah menumbuh sempurna. Juga otak dan hatiku. Aku harus bebal menatap dunia yang tak maya. Lalu berdiri ditopang kedua kaki yang mulai kokoh. Bukan lagi bergelayutan di atas pengorbanan dan cucuran asin keringat orang lain, terlebih orang tuaku.
Kemana saja aku? Kerutan di wajah ayah sudah terlalu tegas menunjukkan bahwa beliau kian tua. Kemana saja aku? Helaian putih ternyata telah banyak berlilitan di rambut Ibu yang dulu legam. Kemana saja aku? Kemana saja aku?
Tulang-tulang mereka kian keropos sementara tulang-tulangku menguat. Kulit-kulit mereka kian kasar sementara kulitku berkembang sempurna. Harusnya, aku tak lagi duduk angkuh di punggung keduanya. Harusnya aku berhenti bersembunyi di balik raganya yang tak lagi kuat.
Di cabang jalan…
Hujan turun rapat-rapat. Menyamarkan air mata yang kian berat. Nanar tatapanku. Dilema batin menyeruak. “Aku harus melangkah dengan kakiku sendiri, meski pincang.”
Road To “2012-Mandiri”
Semangat Uciiiii!