Untitled

Kau tahu? Terkadang aku ingin meminjam sayap burung, lalu terbang hingga ke langit barat, lalu merangkaikan nama kita dengan cat warna jingga disana, lalu menikmati keindahannya pada suatu ketika yang penuh romansa, bersamamu.

Ada namaku dan namamu di langit, di ranah misterius yang hampir keseluruhan fenomenanya berujung pada ketidaktahuan manusia. Ada namaku dan namamu di langit, sebagai simbol kepastian cinta di antara ketidakpastian semesta.

Seindah kecintaan Elara pada Jupiter, atau Neptunus pada Titan, tahukah kau bahwasannya kecintaanku padamu melebihi kecintaanku pada garis senja? Senja yang kunamai dengan namamu, yang kemudian ketika ia hadir–dengan atau tanpa gemericik hujan atau sengatan hangat matahari, aku akan semakin saja mencintaimu.

Kau pernah mengatakan, dalam hidup ini, ‘saling mencintai’ sudahlah cukup membuat hidup kita bergembira. Karena saling mencintai berarti saling berkorban. Dan saling berkorban berarti saling memperjuangkan kebahagiaan. Kau perjuangkan kebahagiaanku, aku perjuangkan punyamu.

Katamu, Akan selalu ada pujian dari setiap pandangan orang-orang yang mencinta. Ada kerinduan dalam setiap lipatan jarak. Ada ruang kosong di sel-sela jemari kala tak berpegangan tangan. Ada kekhawatiran pada setiap jam pulang yang terlambat. Ada cemburu yang malu-malu dalam ritma hidup yang kian sesak oleh pekerjaan.

Kau tahu? Sudah sejak lama aku berhenti beritual: bergegas menuju garis pantai kala senja tiba, lalu duduk melipat lutut, lalu menengadah ke langit, lalu menyapa semesta, menyapa lembayung, menyapa sepotong matahari, menyapa jingga, menyapa awan-awan berbentuk mawar. Ya, aku menghentikannya setelah aku bertemu denganmu. Menatap wajahmu membuatku seribu kali lebih berbahagia. Maaf jika aku keterlaluan.

Ah, tak ada yang ingin kukatakan lagi, karna semenjak aku memelukmu, kutahu tak ada yang lebih hangat dari senja, kecuali kamu.

Bandung, 21 Januari 2014

Leave a comment