[Menikah Denganmu] Kau di Senin Pagi

Acapkali aroma pagi meruak, aku menjadi sumringah. Gemericik air kolam membuat telingaku bergetar jumawa. Lalu uring-uringan ayam pejantan mengelabui alam bawah sadarku.

Pukul enam pagi.

Ya, aku terbangun untuk yang kedua kali setelah pukul tiga tadi.  Sejenak, begitu kunikmati aroma pagi. Aroma yang juga dihirup para petani nan bergegas meladang. Atau para pejabat yang menggagahi singgasananya di gedung indah di tengah kota. Aroma yang bagiku tersuguh bersama sepiring harapan baru tentang kehidupan yang lebih bernyawa, yang lebih baik.

Tapi tunggu, tiba-tiba saja aku merasa sakit. Sangat sakit di bagian ulu hati. Berkali-kali mencoba meredamnya dengan secangkir susu hangat, namun gagal.

Ah, Senin pagi. Aku lupa. Ini Senin pagi. Dan aku tak kunjung bisa berdamai dengan rasa nyeri yang tersaji tiap senin pagi. Aku ingin kembali saja dibuai mimpi. Tak pernah ada rasa nyeri dalam mimpi.

***

“Sabar, Dek. Besok selasa, lalu rabu..kamis.. dan hari Jumat kita akan bertemu lagi. InsyaAllah,” ujarmu.

“Ya,” jawabanku payah. Payah sekali.

Sejatinya aku tak pernah sanggup melewati skenario menyakitkan yang satu ini. Senin pagi, tepatnya pukul tiga pagi, aku akan terbangun untuk mengurusi berbagai keperluanmu, meski sejujurnya aku tak ingin semuanya terurus. Jika keperluanmu tak beres, setidaknya kau tak jadi pergi, pikirku.

Pukul empat pagi aku mulai membangunkanmu. Ayam penjantan kala itu mulai menggertak kesunyian. Gemericik air kolam masih menggumuli telingaku. Kali ini ditambah seorang kakek ber-tahrim di surau. Parau sekali suaranya.

Kau terbangun. Selalu, kau menatapku sejenak, mengelus kening, lalu beringsut menyangkutkan handuk di pundak. Kau bersiap mandi, lalu pergi.

“Abang berangkat kerja dulu ya, cinta…”

Pukul setengah lima pagi.

Lagi-lagi aku mengangguk. Payah! Aku membiarkanmu pergi lagi.

***

Jika kau ingin tahu hal apa yang menorehkan luka di ulu hatiku tiap Senin pagi, kuberitahu,

itu adalah tatkala menatapi punggungmu dari balik jendela. Kau menjauh, semakin menjauh sampai organ mataku tak lagi kuasa menangkap sosokmu.  Kau menjadi titik hitam di kejauhan. Kau benar-benar pergi.

Lalu secara tak terduga, mataku mulai menghasilkan bulir-bulir air bening. Jatuh merembesi pipi, sepert hujan merambati kaca mobil. Aku menangis. Aku menangis hingga Tuhan memelukku dalam lelap. Aku membaik. Tapi tidak saat aku bangun pukul enam pagi. Tak ada lagi kau disini.

“Maaf, aku membuatmu menangis lagi,” ucapan maaf yang tak tepat kau ucapkan. Sungguh, ini bukan salahmu. Ini sebuah romansa.

***

“Assalamu’alaikum,”

Kulihat sosokmu dari balik jendela.

Ah, kau pulang! Lalu aku memelukmu sangat lama, sebelum Senin pagi datang lagi…

Senin,  16 Juli 2011

di Rumah Biru

4 thoughts on “[Menikah Denganmu] Kau di Senin Pagi

Leave a reply to Mustika Suci Jungjunan Cancel reply