Wanita Bunting Diekori Tiga Bocah

Malam. Sepoi angin berhembus semrawut. Memasuki cecelah mantel rajut setebal selimut. Ah, malam memang selalu berulah kalang kabut. Membuat bulu-bulu betis takut dan urat mengerut.

Malam kerap membunuh ekspresi dan warna-warna. Menghitamkan apapun yang ada. Menyembunyikan senyum kamboja. Menutup elok kupu-kupu Rama.

Rembulan di kala malam. Bulat sempurna merajai hitam. Bertengger angkuh di gelapnya lelangitan. Rasanya ia begitu busung dada. Padahal usut punya usut, mataharilah yang membuatnya bercahaya dan aduhai mempesona.

Adalah paling buruknya malam itu. Termenyedihkan dan termengenaskan sehaluan waktu. Kau harus tahu, lalu mengambil hikmah. Kau harus belajar, lalu mengerti bahwa malam menyimpan sejuta kisah kelam.

Di malam kelabu itu aku menyusuri pinggiran mesjid sehabis isya berjamaah. Kokoh dinding-dinding mesjid itu, lapang ruangannya. Konon, lima ratus jiwa dapat tertampung jika disusun bak pindang ikan.

Dari kejauhan, kutangkap sesosok wanita bunting yang diekori tiga bocah. Ia berjalan pula menyusuri pinggiran mesjid, berlawanan denganku arahnya. Awalnya, aku tak peduli. Tapi kuurungkan tatkala wanita bunting itu mulai mengusap peluh dan bocah-bocahnya mulai menangis bersahutan.

Kulihat jarum jamku telah bosan mencumbui angka tujuh. Ia pun selingkuhi si gendut delapan. Ya, jam 8, aku dan wanita bunting itu mondar-mandir di pinggiran mesjid. Aku hendak pulang. Ia entah hendak kemana. Lalu aku menanyainya.

“Engkau sedang apa?”

“Sedang berjalan saja.”

“Kenapa berjalan saja?”

“Karna hanya bisa berjalan saja?”

“Kenapa hanya bisa berjalan saja?”

“Karna tak tahu harus kemana.”

“Kenapa tak tahu harus kemana?”
“Karna aku wanita bunting asing yang tak berumah. Aku menunggu suamiku yang katanya mencari pekerjaan. Tapi kini ia tak pulang-pulang.”

“Kau darimana? Kenapa kau tak berumah?”

“Aku wanita kampung.  Aku diusir. Gubuk pinjaman itu tak lagi dipinjamkan olehnya.”

“Oleh siapa?”

“Oleh ibu tiriku.”

“Kenapa anakmu menangis?”

“Mereka lapar.”

“Kenapa kau datang ke kota sebesar ini?”

“Aku dan suamiku mencari pekerjaan.”

“Siapa suamimu? Melamar pekerjaan apa?”

“Suamiku Narto. Tak kutahu ia melamar apa. Dia tak berijazah.”

Tiga bocah yang mengekorinya semakin deraslah menangis. Kuberikan wanita bunting itu selembar uang untuk dinikmati olehnya dan oleh tiga anaknya. Tak kuterka, wanita itu menolak. Semakin kuberikan, semakin menolak.

“Beri aku dan anak sulungku pekerjaan, baru bisa aku menerima uang.”

“Tapi aku rela memberimu uang.”

“Aku tak hendak mendidik anakku menjadi peminta-minta. Jadi, beri aku dan anak sulungku pekerjaan. Baru aku bisa menerima uang.”

“Baik. Tolong buat teras mesjid ini bersih.”

Wanita bunting, diekori tiga bocah. Di antara remang rembulan, kulihat mereka bergerak-gerak merapikan teras. Aku membalik badan. Bercucuran air mata adalah hal yang cuma bisa kulakukan. “Sudah. Sudah. Hentikan pekerjaanmu. Sekarang ikut aku.” Aku berjalan, diikuti wanita bunting yang diekori tiga bocah.

“Ini upahmu membersihkan mesjid. Kuberi kau bonus makan malam.”

“Terima kasih.”

“Kau hamil berapa bulan?”

“Sembilan.”

“Kapan kau melahirkan?”

“Mungkin dalam waktu dekat.”

“Kenapa anak-anakmu begitu lahap makan?”

“Empat hari mereka tidak menciduk nasi.”

“Makanlah sepuasmu malam ini dan telpon saja aku jika kau perlu.”

Aku pergi.

Kau harus tahu, satu balikan minggu telah menghapus daya ingatan otakku. Tak lagi aku mengingat-ingat wanita yang diekori tiga bocah itu. Tak pula kuhiraukan kebuntingannya. Sampai suatu ketika, kudengar laki-laki bernama Narto menghubungi telepon genggamku;

” Istriku akan lahiran. Aku berpekerjaan. Anakku sudah bisa makan. Makasi.”

“Sama-sama. Senang aku mendengarnya.”

“Jikalau kau tak keberatan, aku pinjam sejumlah uang.”

“Untuk apa?”

“Lahiran.”

“Nanti malam kuberi jawaban.”

“Baiklah. Terima kasih. Kau sungguh baik hati.”

***

Kau harus tahu bahwa malam memang menyimpan sejuta kisah kelam. Malam itu, tepat saat aku menjanjikan uang untuk Narto, aku kehilangan hal paling berharga untukku dan terlebih untuk Narto. Telepon genggam! Ya, raib sudah ia ditelan sampah-sampah. Benda itu tak sengaja terbuang bersama kantung-kantung bekas makan rakyat. Ah, tak perlu kau tahu ceritanya bagaimana. Jelasnya, aku dan Narto putus kontak.

Lagi-lagi kau harus tahu, semalaman itu lantas kedua mataku tak mau saling merapat. Sosok Wanita bunting, Narto, dan tiga bocah itu berkelebat-kelebat dalam kamarku. Lahiran dimana? Selamatkah? Darimana biayanya? Ah, jika terjadi sesuatu pada mereka, akulah penyebabnya.

Lantas bulan membungkam minggu, minggu membungkam hari, dan hari membungkam jam. Tak lagi kutemui wanita bunting yang diekori tiga bocah itu di pinggiran mesjid. Sengaja aku datang di suatu malam, tepat jam delapan. Ah, ia tak jua muncul. Aku mengerut dahi. Habis akal aku dibuatnya. Narto tak tahu nomor baru simcardku, dan aku tak tahu harus kemana menghubungi dia. Cuma takdir dan keajaiban yang bisa membuat Narto memijit nomor baruku dengan benar. Dan keajaiban itu tak kunjung muncul, pun hingga dua tahun berikutnya.

Leave a comment